Kedaulatan Digital Indonesia Mendesak Regulasi AI untuk Antisipasi Bias Global

Pernahkah Anda merasa algoritma media sosial seringkali menampilkan konten yang kurang relevan atau bahkan bias? Fenomena ini bukan kebetulan. Kecerdasan Buatan (AI) saat ini cenderung dikembangkan tanpa mempertimbangkan keragaman budaya, termasuk di Indonesia. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkominfo), Nezar Patria, baru-baru ini menekankan urgensi regulasi AI di Indonesia sebagai langkah strategis menuju kedaulatan digital.

Mengapa AI Global Cenderung Bias?

Nezar Patria menjelaskan bahwa geopolitik pengembangan AI global didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Akibatnya, nilai-nilai yang tertanam dalam model AI cenderung bias terhadap budaya Barat. Hal ini bahkan kerap menciptakan stereotip negatif terhadap kelompok tertentu. “Data AI yang dihasilkan tidak mencerminkan keragaman kita,” ujar Nezar. Ini menjadi masalah serius mengingat pengaruh AI yang semakin besar dalam kehidupan sehari-hari.

Tiga Pilar Strategis Menuju Ekosistem AI Berdaulat di Indonesia

Bagaimana Indonesia bisa lepas dari ketergantungan ini dan membangun ekosistem AI yang benar-benar berdaulat? Jawabannya terletak pada tiga pilar utama: regulasi AI, riset AI, dan talenta digital.

1. Regulasi AI: Melindungi Nilai dan Kepentingan Nasional

Nezar Patria menegaskan bahwa regulasi AI yang ketat bukan hanya tentang kontrol, melainkan juga perlindungan nilai-nilai lokal Indonesia. Mayoritas model AI saat ini mengadopsi dataset dan algoritma dari luar negeri, sehingga output-nya seringkali tidak relevan dengan konteks budaya Indonesia. Misalnya, AI mungkin kesulitan memahami nuansa bahasa daerah atau tradisi lokal.

“Kita perlu ‘filter’ sendiri agar AI yang digunakan sesuai dengan kepentingan nasional,” tambah Nezar. Pandangan ini sejalan dengan kekhawatiran global, termasuk dari Elon Musk, yang juga mendorong regulasi AI untuk mencegah dampak negatif yang mungkin timbul.

2. Sumber Daya dan Riset AI: Potensi Tersembunyi Indonesia

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) strategis seperti nikel dan boron, yang merupakan bahan baku kunci untuk industri chip dan komputasi AI. Namun, Nezar mengakui belum adanya desain besar untuk mengintegrasikan SDA ini ke dalam rantai pasok AI global. “Kita punya bahan mentah, tapi tidak punya industri pengolahannya,” katanya.

Selain itu, kapasitas riset dan pengembangan (R&D) AI di Indonesia masih sangat rendah, hanya 0,24% dari PDB. Bandingkan dengan Tiongkok yang mengalokasikan lebih dari 2% PDB-nya untuk R&D. Tanpa peningkatan signifikan di bidang ini, pengembangan AI mandiri di Indonesia akan sulit terwujud.

3. Talenta Digital: Kunci Utama Penguasaan AI

Menurut Nezar, kendala infrastruktur bisa diatasi jika Indonesia memiliki talenta digital yang unggul. “Tiongkok dan India membuktikan bahwa keterbatasan infrastruktur bisa ditaklukkan oleh SDM yang kreatif,” ujarnya. Namun, Indonesia diproyeksikan kekurangan 2,7 juta talenta digital pada 2030, sebuah tantangan besar yang harus segera diatasi untuk mendukung inovasi AI.

Solusi untuk masalah ini adalah kolaborasi kuat antara pemerintah, industri, dan akademisi untuk menciptakan program pelatihan yang masif. Inovasi dapat muncul dari mana saja jika ekosistem digital mendukung, seperti contoh mahasiswa yang menggunakan AI untuk reformasi regulasi.

Membangun Masa Depan AI Indonesia

Transformasi digital bukanlah perlombaan satu sektor, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan keselarasan antara regulasi, teknologi, dan sumber daya manusia. Indonesia memiliki semua bahan untuk menjadi pemain utama di panggung AI global, kuncinya adalah menyusun strategi yang tepat.